EMDR itu apa, sih?
Aku pertama kali dengar kata EMDR dari teman yang bilang, “Cobain deh, bagus buat yang belum move on dari kejadian buruk.” Waktu itu aku skeptis. EMDR singkatan dari Eye Movement Desensitization and Reprocessing — intinya terapi yang membantu otak “memproses ulang” kenangan traumatis lewat stimulasi bilateral, misalnya mengikuti jari terapis dengan mata. Ada juga versi yang pakai ketukan atau bunyi bergantian. Teorinya sederhana: ingatan yang bikin sakit terkunci dalam sistem pemrosesan informasi, EMDR membantu membuka kuncinya sehingga emosi dan reaksi fisik bisa reda.
Bagaimana cara kerjanya — terasa aneh atau nyaman?
Pertama kali duduk di ruangan terapis aku deg-degan. Terapis memintaku mengingat fragmen kejadian yang masih memicu rasa takut, lalu memandu mataku mengikuti gerakan atau memberikan sentuhan ringan bergantian di tangan. Rasanya campur aduk: ada momen mata berkedip cepat, ada momen lega yang pelan-pelan merayap. Tidak semua sesi dramatis. Kadang tak ada kilas balik besar, cuma penurunan intensitas perasaan saat memikirkan memori itu. Yang penting, terapi ini dilakukan bertahap, aman, dan selalu ada teknik grounding bila emosi naik terlalu tinggi.
Mengapa EMDR efektif untuk trauma, kecemasan, dan PTSD?
Berdasarkan pengalamanku dan banyak studi, EMDR efektif terutama untuk trauma dan PTSD karena langsung menargetkan memori yang memicu gejala. Mereka yang mengalami flashback, mimpi buruk, atau reaksi ekstrem pada pemicu tertentu sering melaporkan penurunan signifikan setelah beberapa sesi. Untuk kecemasan umum juga terlihat manfaat: ketika memori atau keyakinan negatif yang mendasari kecemasan diproses ulang, pola pikir dan tubuh bisa lebih tenang. EMDR bekerja di level ingatan dan sensasi tubuh, bukan hanya pada pengubahan pikiran sadar, jadi pendekatannya terasa lebih mendalam.
Apa praktik EMDR di Indonesia seperti apa?
Di Indonesia, EMDR mulai dikenal lebih luas dalam beberapa tahun terakhir. Kota-kota besar punya terapis terlatih, dan kini ada komunitas serta workshop untuk profesional kesehatan mental. Tetapi akses masih berbeda-beda: di kota besar lebih mudah, di daerah lain terbatas. Budaya yang kadang memandang terapi sebagai aib juga bisa jadi penghalang. Jadi aku sarankan cari terapis bersertifikat, tanyakan pengalaman mereka, dan jangan ragu bertanya soal frekuensi sesi, durasi, serta kombinasi terapi lain. Untuk referensi awal, situs-situs internasional dan komunitas terapi bisa membantu, misalnya aku pernah membaca sumber bagus di emdrtherapyhq yang menjelaskan banyak hal teknis dan praktis.
Bisa untuk self-healing juga? Di mana mindfulness masuk?
EMDR adalah kerja dengan terapis, tapi ada banyak yang bisa kamu lakukan sendiri sebagai pelengkap. Mindfulness — praktik hadir penuh pada napas, sensasi tubuh, atau lingkungan — sangat membantu menurunkan tingkat reaktivitas. Teknik yang aku pakai: napas kotak (empat hitungan), ground dengan merasakan kaki di lantai, atau mengamati pikiran tanpa menilai. Jurnal juga membantu; menulis detail memori, lalu membaca ulang sambil memberi jarak emosional. Selama proses EMDR, terapis biasanya mengajarkan “safe place” visualisasi yang bisa dipakai sendiri di luar sesi.
Saran buat yang mau mencoba
Kalau kamu tertarik, langkah pertama: konsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk memastikan EMDR tepat untuk kasusmu. Tanyakan sertifikasi, pengalaman dengan masalah serupa, dan bagaimana mereka menangani potensi retraumatisasi. Jangan buru-buru berharap perubahan instan; beberapa orang butuh beberapa sesi, beberapa lainnya butuh lebih lama. Terakhir, gabungkan kerja terapi dengan praktik sehari-hari: tidur cukup, gerak tubuh, dan latihan mindfulness. Menyembuhkan itu progress, bukan perlombaan. Aku masih belajar setiap hari, dan EMDR jadi salah satu alat yang membantu membuka pintu-pintu yang dulu selalu kukunci rapat.